PERBEDAAN KEUTAMAAN ASMA’UL HUSNA DAN PENYEBUTAN NAMA PALING AGUNG
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Perkataan mereka yang mengatakan sifat-sifat Allah tidak berbeda dari segi keutamaan, atau yang seperti itu, adalah perkataan yang tidak didukung oleh dalil dan sebagaimana nama-nama dan sifat-sifat-Nya bermacam-macam, maka ia juga berbeda-beda keutamaannya, sebagimana hal itu ditunjukan oleh Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Lihat, Al Jawaab Ajlil Ilmi Wal Imaan, hal. 197-200)
Di antara perkara yang menunjukan adanya perbedaan keutamaan asma’ul husna, adalah apa yang disebutkan dari Nabi ﷺ, dalam riwayat-riwayat Shahih, bahwa Allah memiliki nama paling agung, apabila Allah diminta dengan menggunakan nama itu niscaya Dia akan memberi, dan apabila berdo’a dengan menggunakannya niscaya akan Dia kabulkan. Maka tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan keutamaan sangat agung yang menjadi kekhususan nama tersebut, di mana disifatkan sebagai nama Allah yang paling agung.
Oleh karena itu, nama ini, pengetahuan tentangnya, dan pembahasannya memiliki kedudukan yang agung menurut para ahli ilmu. Al-Imam As-Syaukani rahimahullah berkata dalam kitabnya Tuhfah Ad-Dzakirin. “Terjadi perbedaan dalam menentukan nama yang paling agung sekitar empat puluh pendapat. Imam Suyuthi telah menyebutkannya secara tersendiri dalam satu tulisan khusus. ( Tuhfah Ad-Dzakirin, hal. 67). Namun As-Suyuthi tidak menyebutkan dalam kitabnya yang beliau khususkan tentang masalah itu, dan beliau beri nama ‘Ad-Durr Al-Munazham fii Al-Ism Al-A’zham,’ melainkan hanya dua puluh pendapat. Kebanyakan dari pendapat itu sangat nyata kelemahannya karena tidak didukung oleh hadis yang Shahih lagi tegas.
Sesungguhnya pendapat yang paling masyhur dalam menentukan nama yang paling agung, lebih dekat kepada kebenaran, dan lebih sesuai dengan dalil-dalil, bahwa nama paling agung adalah ‘Allah’. Pendapat inilah yang dipegang oleh sejumlah besar ahli ilmu.
Al-Imam Abu Abdillah bin Mandah berkata dalam kitabnya At-Tauhid, di mana beliau memilih di dalamnya bahwa nama yang paling agung adalah ‘Allah’, “Nama-Nya ‘Allah’ adalah pengenal bagi dzat-Nya dan Allah telah mencegah ciptaan-Nya untuk memakainya sebagai nama, atau ada sembahan selain-Nya yang mengklaim bernama seperti itu. Dia menjadikannya sebagai awal keimanan, tiangnya Islam, serta kalimat haq dan ikhlas. Menyelisihi lawan-lawan dan sekutu padanya. Orang yang mengucapkannya terlindung dari pembunuhan. Dengan nama ini kewajiban-kewajiban menjadi dibuka dan sumpah-sumpah menjadi mengikat. Dijadikan perlindungan dari setan. Dengan namanya dimulai dan ditutup segala sesuatu. Maha Berkah nama-Nya dan tidak ada sembahan yang haq selain-Nya. ( At-Tauhid, 2/21).
Nama yang mulia ini memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak ada pada nama-nama yang lain. Di antara keistimewaannya bahwa Allah menyandarkan nama-nama lain kepadanya. Seperti firman-Nya: “Bagi Allah asma’ul husna (nama-nama paling indah).” Dikatakan pula, “Al-Aziz, Ar-Rahman, Al-Karim, dan Al-Quddus termasuk di antara nama-nama Allah.” Tidak dikatakan “Allah termasuk nama Ar-Rahman.” Bahkan nama yang mulia ini berindikasi kepada semua makna asma’ul husna dan menunjukan kepadanya secara garis besar. Sedangkan asma’ul husna merupakan perincian dan penjelasan bagi sifat-sifat ilahiyah (Allah).
Sebagian ahli ilmu ada yang berpendapat bahwa nama yang paling agung adalah ‘Al-Hayyu Al-Qayyum’. Imam Ibnu Al-Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’ad, “Sesungguhnya sifat ‘hayaat’ (hidup) mencakup semua sifat-sifat kesempurnaan, dan berkonsekuensi kepadanya. Sedangkan sifat ‘Al-qayyum’ mencakup semua sifat-sifat perbuatan. Oleh karena itu, nama Allah paling agung, yang jika digunakan bedo’a niscaya Allah kabulkan, dan bila digunakan meminta maka Allah akan berikan, ia adalah nama ‘Al-Hayyu Al-Qayyum.” (Zaadul Ma’ad, 4/204).
Nama ini telah disebutkan pula pada sebagian besar hadis-hadis yang mengisyaratkan tentang nama Allah yang paling utama. Pendapat ini dan yang sebelumnya merupakan pendapat yang paling kuat tentang nama yang paling utama. Terlepas dari semuanya, ini adalah masalah ijtihad, karena tidak ada dalil qath’I (pasti) yang menunjukan penetapannya, sehingga wajib untuk dijadikan pegangan. Hanya saja barang siapa berdo’a kepada Allah dengan do’a-do’a yang ma’tsur, seperti dia mengatakan dalam do’anya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيكَ لك الْمَنَّانُ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ
“Ya Allah sungguh aku memohon pada-Mu, bahwa bagi-Mu segala puji, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau semata, tidak ada sekutu bagi-Mu, sang pemberi nikmat, pencipta langit dan bumi, pemilik keagungan dan kemuliaan,” atau dia mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللَّه لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، الأَحَدُ، الصَّمَدُ، الَّذِي لَمْ يَلِدْ، وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku bersaksi bahwa Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Engkau, Yang Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak diperanakan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya,”(HR.Seluruh Penulis As-Sunan)
Maka sungguh dia telah berdo’a kepada Allah menggunakan nama-Nya yang paling agung, yang jika diminta menggunakannya niscaya diberi, dan jika berdo’a menggunakannya niscaya dikabulkan. Namun patut pula kita ingat bahwa untuk diterimanya suatu do’a perlu sejumlah syarat sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan Sunnah.
Demikian semoga bermanfaat. Washollallahu ‘ala Muhammad waalihi wasohbihi ajma’in.
Al-Bayaan Cianjur, Rabu 03 Februari 2021/ 21 Jumadil Akhir 1442 H
Penulis: Adep Baehaki
Sumber : Diringkas dari buku Fikih Do’a dan Dzikir karya Syaikh Abdurrazaq Bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr -Hafidzahumallahu-