KEUTAMAAN MENDO’AKAN ORANG-ORANG BERIMAN DAN MENAHAN DIRI DARI MENCELA MEREKA
Telah berlalu bersama kita pembahasan urgensi mendo’akan kaum muslimin agar mendapatkan ampunan, kasih sayang, taufik, dan yang sepertinya. Sudah dijelaskan pula apa yang disiapkan untuk hal itu dari faidah-faidah agung, pahala-pahala mulia, serta kebaikan-kebaikan yang beruntun di dunia dan akhirat. Tidak diragukan lagi, adanya hal seperti itu diantara kaum muslimin merupakan bukti akan kekuatan persatuan, kerasnya ikatan, dan kokohnya hubungan.
Barangsiapa keadaannya seperti itu, maka sangat patut baginya menjadi saksi dan pemberi syafa’at untuk manusia di hari kiamat. Disebutkan dalam hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Beliau bersabda:
“orang-orang pelaknat tidak akan menjadi pemberi syafa’at dan tidak pula saksi pada hari kiamat.” (Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim, Ahmad, dan Abu Daud.)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata tentang makna hadits ini, “Sungguh persaksian masuk kategori berita dan syafa’at masuk kategori permintaan. Barangsiapa banyak mencela manusia, yaitu persaksian atas mereka tentang keburukan, dan banyak melaknat mereka, yaitu meminta keburukan bagi mereka, maka tidak patut menjadi saksi atas mereka dan tidak pula pemberi syafa’at untuk mereka, karena persaksian dibangun di atas kejujuran, dan ini tidak terdapat pada mereka yang banyak mencela, terutama jika yang dicela orang-orang yang lebih dekat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dibandingkan pencela.
Sedangkan syafa’at dibangun di atas kasih sayang dan permintaan kebaikan. Dan hal ini tidak terdapat pada mereka yang banyak melaknat serta meninggalkan mendo’akan kaum muslimin.”
Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk mendo’akan saudara-saudaranya sesama kaum muslimin, mencintai kebaikan bagi mereka, menjauhi dari melaknat mencaci mereka, serta melecehkan mereka. Sebab perkara demikian bukan urusan seorang muslim dan bukan pula termasuk akhlaknya.
Karena Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya” (HR. Tirmidzi, no. 1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain)
Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang mana kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”
Inilah kondisi minimal seorang muslim bila tidak mendo’akan saudara-saudaranya sesama muslim, tidak menebarkan kebaikan untuk mereka, dan tidak berupaya dalam hal kebutuhan dan maslahat mereka, maka minimal menahan diri dari menyakiti mereka dan mendatangkan keburukan atas mereka.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Nusa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu beliau berkata, nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“… Hendaklah dia menahan diri dari berbuat buruk karena itu sedekah baginya,”
Demikian pula halnya mereka yang mencela ulama-ulama umat ini dan sebaik-baik mereka dari kalangan ahli ilmu, fikih, dan penasehat bagi kaum muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Diantara ungkapan yang masyhur, ‘Daging para ulama beracun’.”
Begitu pula dengan melaknat orang-orang yang sudah mati di antara kaum muslimin, yaitu mereka yang telah pergi menghadapi apa yang mereka kerjakan di dunia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pembicaraan tentang melaknat orang-orang yang telah mati lebih besar dari pada melaknat orang hidup. Karena telah disebutkan dalam Ash-Shahih, dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“… Janganlah kamu mencaci-maki orang-orang yang telah meninggal di antara kita dan menyakiti orang-orang hidup di antara kita.”
Para ulama berbeda pendapat tentang melaknat orang fasik secara perorangan, dikatakan hal itu diperbolehkan, dan dikatakan pula ia tidak diperbolehkan. Adapun pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad rahimahullah adalah tidak menyukai melaknat perorangan, akan tetapi mengatakan sebagaimana firman Allah Ta’ala:
مَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا ۚ أُولَٰئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَىٰ رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَٰؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: “Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka”. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim, (QS. Hud : 18)
Dan telah tercantum dalam Shahih Bukhari, “Sesungguhnya seorang laki-laki biasa dipanggil Hammar. Dia biasa minum khamr. Dia didatangkan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memukulnya. Pada suatu kali dia datangkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka seorang laki-laki berkata, ‘Semoga Allah melaknatnya, alangkah seringnya dia didatangkan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kamu melaknatnya, sungguh dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melaknat orang ini secara perorangan meski sering minum khamr, seraya memberi alasan bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, meski beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri melaknat peminum khamr secara mutlak. Maka hal itu menunjukkan bolehnya melaknat secara mutlak, namun tidak boleh melaknat perorangan, dimana orang tersebut mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Terlepas dari semuanya, laknat adalah ancaman, sedangkan ancaman tidak mesti terjadi pada orang-orang tertentu, kecuali jika didapatkan syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya.
Wallaahu A’lam.
Diringkas dari kitab Fiqih Do’a dan Dzikir, Karya: Syeik Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr –Hafizhahumallah-.
Cianjur, 31 Agustus 2020, ditemani senja dan secangkir kopi.
Oleh: Fitra Aryasandi S.Ag