CELAAN ATAS KELALAIAN DARI BERDZIKIR KEPADA ALLAH
Sesungguhnya, Allah ketika memerintahkan berdzikir pada-Nya dalam Al Qur’an yang mulia, memotivasi dan mendorong kepadanya, sebagaimana tertera pada ayat ayat yang sangat banyak, maka di satu sisi, Allah memberikan peringatan agar tidak terjerumus pada apa yang menjadi lawannya, yaitu lalai dari berdzikir. Karena pada hakikatnya dzikir kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan melepaskan diri dari kelalaian serta menjauh darinya, Allah telah mengumpulkan kedua perkara ini dalam satu ayat dari Al-Qur’an yang mulia yakni perintah berdzikir dan larangan melalaikan dzikir dan itu terdapat pada firman-Nya di akhir surah Al-A’raf:
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
“Berdzikirlah kepada Rabbmu dengan merendahkan diri dan perlahan tanpa mengeraskan suara di pagi dan petang, dan janganlah engkau menjadi orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205)
Maksud firman-Nya pada ayat itu, “Janganlah engkau menjadi orang-orang yang lalai”, yakni termasuk mereka yang lupa Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa diri mereka sendiri. Sungguh mereka itu telah terhalang dari mendapatkan kebaikan dunia akhirat, berpaling dari semua kebahagiaan serta keberuntungan dalam berdzikir serta menyembah Allah. Mereka justru menyambut semua perkara yang mana kesengsaraan dan kekecewaan akan meliputinya tatkala menyibukkan diri dengannya. Pada ayat itu terdapat perintah berdzikir dan jalan orang-orang yang lalai. konsisten di atasnya dan peringatan lalai darinya serta peringatan kan jalan orang-orang yang lalai.
Kelalaian adalah penyakit yang berbahaya, jika ia menimpa manusia dan mengakar padanya, niscaya orang itu tidak akan menyibukkan diri dengan ketaatan pada Allah Ta’ala, dzikir pada-Nya, dan peribadatan untuk-Nya. Bahkan dia akan menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang melalaikan dan menjauhkan dari dzikir pada Allah. Apabila dia melakukan suatu amal ketaatan dan ibadah, maka sungguh dia akan mengerjakannya dalam bentuk yang buruk, dan keadaan yang tak layak. Maka amal-amalnya kosong dari khusyu’, tunduk, taubat, ketenangan, rasa takut, kejujuran, dan keikhlasan.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberikan peringatan terhadap hal itu di berbagai tempat dalam Al-Qur’an yang mulia, mencelanya, menjelaskan keburukan akibatnya, dan bahwa ia termasuk sifat orang-orang kafir serta orang-orang munafik yang berpaling (dari Allah). Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Sungguh kami telah campakkan ke dalam jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka memiliki hati namun tidak menggunakannya untuk memahami, mereka memiliki mata namun tidak menggunakannya untuk melihat, dan mereka memiliki telinga namun tidak menggunakannya untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)
Dan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ أُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sesungguhnya mereka yang tidak mengharapkan perjumpaan dengan kami, dan mereka ridha dengan kehidupan dunia serta merasa tenang dengannya, dan mereka yang lalai dari ayat-ayat Kami. Mereka itulah tempat kembalinya adalah neraka disebabkan oleh apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 7-8). Dan firman-Nya:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka mengetahui yang nampak dari kehidupan dunia, dan mereka lalai dari kehidupan akhirat.” (QS. Ar-Rum: 7).
Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak.
Perumpamaan orang yang lalai dari berdzikir kepada Allah seperti mayit. Sudah disebutkan terdahulu bahwa dzikir adalah kehidupan hati secara hakiki. Tidak ada kehidupan bagi hati tanpa dzikir. Kebutuhan hati terhadap dzikir lebih besar daripada kebutuhan ikan terhadap air. Hati yang berdzikir adalah hati yang hidup. Sedangkan hati lalai adalah hati yang mati.
Dalam Ash-Shahihain, dari hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dari Nabi صلى الله عليه وسلمbeliau bersabda:
مَثَلُ الذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالّذِيْ لَا يَذْكُرُهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berdzikir pada Rabbnya dan orang yang tidak berdzikir sama seperti orang hidup dan orang mati.”
Dalam lafazh Muslim:
مَثَلُ الْبَيْتِ الّذِيْ يُذْكَرُ اللّهُ فِيْهِ وَالْبيْتِ الّذِيْ لَا يُذْكَرُ اللّهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالمَيِّتِ
“Perumpamaan rumah yang terdapat dzikir pada Allah di dalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikir pada Allah di dalamnya sama seperti orang hidup dan orang mati.” (Shahih Al-Bukhari, No. 6407, dan Shahih Muslim, No. 779).
Pada perumpamaan ini sama seperti yang dikatakan Imam Asy-Syaukani, “Kedudukan orang berdzikir sangatlah agung, keutamaannya sangat terpuji, apa yang terjadi darinya berupa dzikir pada Allah dalam kehidupan dzat maupun ruh, maka sebesar itu pula cahaya yang meliputinya, serta apa yang sampai padanya dari pahala. Sebagaimana orang yang meninggalkan dzikir meski dalam kehidupan dzat, maka dia tidaklah diperhitungkan, bahkan ia mirip dengan orang-orang yang telah mati.” (Tuhfah Adz-Dzakirin, hal. 15)
Pada hadits di atas, Nabi صلى الله عليه وسلم telah menjadikan rumah orang yang berdzikir, sama seperti rumah orang hidup, dan rumah yang orang lalai berdzikir, sama seperti rumah orang mati, yaitu kubur. Pada lafazh pertama, orang berdzikir sendiri diposisikan sebagai orang hidup, dan orang lalai diposisikan sebagai orang mati. Maka dari keseluruhan kedua lafazh itu, hadits di atas mengandung pengertian, bahwa hati orang yang berdzikir seperti orang hidup di rumah orang-orang hidup, dan hati orang yang lalai seperti mayit di rumah-rumah orang mati. Atas dasar ini, maka badan-badan orang mati adalah kubur-kubur bagi hati mereka, dan hati mereka padanya sama seperti mayit-mayit di dalam kubur.
Oleh karena itu, telah sah dalam hadits dari Nabi صلى الله عليه وسلم , larangan menjadikan rumah sebagai kubur, yakni tidak dikerjakan shalat di dalamnya dan tidak ada dzikir pada Allah ta’ala. Dalam Ash-Shahihain, dari Ibnu Umar Nabiصلى الله عليه وسلم bersabda:
اِجْعَلُوْا مِنْ صَلَاتِكُمْ فِيْ بُيُوْتكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
“Jadikanlah sebagian shalat-shalat kamu di rumah-rumah kamu, dan jangan jadikan ia sebagai kuburan.” (Shahih Al-Bukhari, No. 432, dan Shahih Muslim, No. 777)
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , dari Nabi صلى الله عليه وسلم, Beliau bersabda:
لَا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، فَإِنَّ الشَيْطَانَ يَفِرُّ مِنَ البَيْتِ الَّذِيْ يَسْمَعُ سُوْرَةَ الْبَقَرَةَ تُقْرَأُ فِيْهِ
“Jangan jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan-kuburan, karena setan lari dari rumah yang didengar padanya surah Al-Baqarah dibaca di dalamnya.” (Shahih Muslim, No. 780)
Dalam Sunan Abu Daud dan selainnya, melalui sanad yang hasan, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلَا تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتِكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْتُ كُنْتُمْ
“Jangan kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai kubur, dan jangan jadikan kuburanku sebagai perayaan, bershalawatkah untukku, sungguh shalawat kamu akan sampai padaku di mana saja kamu berada.” (Sunan Abu Daud, No. 2042, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jooml’, No. 7226)
Syaikhul Islam Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyah si berkata tatkala menjelaskan tentang makna sabdanya, Jangan jadikan rumah-rumah kamu sebagai kubur, yaitu “Jangan kosongkan ia dari shalat, doa, dan bacaan Al-Qur’an, agar tidak seperti kubur. Maka, diperintah mengerjakan ibadah di rumah dan dilarang mengerjakannya di kubur. Berbeda dengan apa yang dilakukan Yahudi dan Nashara serta orang-orang yang meniruniru mereka.” (Iqthidho Ash-Shirath Al-Mustaqim, 2/662). Demikian perkataan beliau.
Sumber: Buku Fiqih Do’a dan Dzikir karya Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr
Penulis: Ade Abdurrahman