DIANTARA ADAB-ADAB DO’A (LANJUTAN)
Diantara perkara yang patut bagi seorang muslim untuk dia jauhi ketika berdoa adalah membebani diri untuk bersajak dalam doa, dan bersusah payah untuk menghiasi perkataan.
Sajak adalah kata-kata puitis tanpa memperhatikan aturan sastra. Membebani diri dengan hal itu dalam doa merupakan perkara yang tidak disukai. Nabi Shallalahu Alaihi Wasalam tidak pernah melakukannya dan tidak pula seseorang diantara sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu, Ibnu Abbas Radiyallahu Anhu berkata: “Sungguh aku telah mengetahui Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasalam
Dan para sahabatnya tidak melakukan kecuali menjauhinya.
Al Azhari Rahimahullah berkata: “Hanya saja beliau Shallalahu Alaihi Wasalam tidak menyukainya karena menyerupai perkataan para tukang tenung.” Seperti pada kisah perempuan dari suku Hudzail.
Oleh sebab itu, sebagian ahli ilmu memasukan pemaksaan bersajak dalam berdoa sebagai salah satu penghalang dikabulkannya doa.
Al Qurthubi Rahimahullah berkata: “Diantaranya, seseorang berdoa dengan doa yang tidak berasal dari Al kitab dan As Sunnah.”
Sajak yang tercela adalah yang dipaksakan dimana pelakunya membebani diri untuk membuatnya. Sehingga hal itu menyibukannya dari ikhlas dan khusu. Melalaikannya dari merendahkan diri dan menampakan kebutuhan.
As Safarayini Rahimahullah berkata: “Tidak boleh membebani diri untuk bersajak dalam doa, sebab ia menyibukan hati, menghilangkan kekhusuan.”
Menjadi keharusan bagi orang yang berdoa untuk menjauhi ucapan yang tidak fasih dalam doa. Terutama bila ketidak fasihan itu merubah makna, mengurangi maksud, merusak yang diinginkan.
Atas dasar ini, patut bagi orang yang berdoa menjauhi ketidak fasihan dalam doa jika mampu untuk itu dan memiliki kekuatan atasnya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah ditanya tentang seorang laki-laki yang memanjatkan doa tidak fasih. Lalu seseorang berkata kepada laki-laki tadi, Allah tidak akan mengabulkan doa yang tidak fasih. Maka beliau rahimahullah menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan perkataan ini maka dia berdosa dan menyelisihi Al kitab dan As Sunnah serta apa yang ada diatasnya generasi salaf. Adapun orang berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya seraya menggunakan doa-doa yang diperbolehkan, niscaya Allah akan mendengarkannya dan mengabulkan doanya, baik menggunkan Bahasa arab fasih ataupun tidak fasih.
Doa boleh menggunakan Bahasa Arab. Atau bukan Bahasa Arab. Allah Ta’ala mengetahui maksud orang berdoa dan keinginan. Meski lisan tidak fasih, namun Allah Ta’ala mengetahui kebisingan suara dari berbagai Bahasa, dengan kebutuhan yang beragam.
Tidak boleh bagi seorang muslim menyengaja dalam doanya irama-irama tertentu, atau menyengaja dalam memanjatkan doa dengan gaya khusus, seperti merendahkan suara lalu meninggikannya, atau bergoncang, atau mengulang-ulang dengan irama atau yang sepertinya.
Perkara seperti ini tidak diperbolehkan. Sebab posisi doa adalah posisi permintaan, menampakan kebutuhan, kekhusyuan, dan merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan tempat untuk berdendang. Ia adalah tempat ketundukan serta peribadatan dan bukan tempat menampakan kemahiran dalam irama.
Ia adalah tempat penghinaan dirik, ketundukan, serta keimanan, bukan tempat menyibukan jiwa dengan memperbagus penyajian dan keserasian kata-kata. Hanya Allah semata pemberi petunjuk dan pemberi taufik. Dia satu-satunya pemberi pertolongan.
Diringkas dari kitab Fiqih Do’a dan Dzikir, Karya: Syeik Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr –Hafizhahumallah-.
Cianjur, Jum’at 10 Juli 2020, ditemani senja dan secangkir kopi.
Oleh: Fitra Aryasandi S.Ag