Rabu, April 17, 2024
spot_img

HAKIKAT SYUKUR

HAKIKAT SYUKUR

Para ulama menjelaskan bahwa hakikat syukur adalah pengakuan seorang hamba akan karunia Allah, dengan penuh ketulusan, ketundukan dan rasa cinta.

  • Sehingga barang siapa yang tidak menyadari nikmat, maka ia belum dianggap bersyukur.
  • Begitu pula orang yang sudah menyadari nikmat, namun tidak tahu siapakah yang mengaruniakan nikmat tersebut, maka ia juga belum dianggap bersyukur.
  • Sedangkan orang yang sudah menyadari nikmat dan mengetahui siapa yang mengaruniakannya, namun ia mengingkari hal tersebut; maka ia pun belum dianggap bersyukur.
  • Adapun orang yang sudah menyadari nikmat dan mengetahui Sang pemberi nikmat serta mengakui-Nya, tetapi ia tidak patuh dan cinta pada-Nya; maka ia juga belum dianggap bersyukur.
  • Orang yang sudah menyadari nikmat dan mengetahui Sang pemberi nikmat serta mengakui-Nya, juga ia patuh dan cinta pada-Nya; inilah orang yang dianggap telah bersyukur.

Jadi, syukur itu dibangun di atas lima pilar:

  1. Ketundukan hamba terhadap Sang pemberi nikmat.
  2. Kecintaan kepada-Nya.
  3. Pengakuan atas karunia-Nya.
  4. Pujian terhadap-Nya.
  5. Tidak menggunakan nikmat tersebut untuk hal-hal yang dibenci oleh-Nya.

Inilah lima pondasi syukur. Bila salah satunya tidak terpenuhi, maka syukur belum dianggap sempurna. Sebaliknya bila kelimanya telah dilakukan hamba, maka ia telah dianggap bersyukur dengan baik.

Perealisasiannya adalah dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Hati mewujudkan ketundukan, ketulusan dan kecintaan kepada Allah. Lisan melakukan pengakuan dan pujian pada Allah. Sedangkan anggota tubuh melakukan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah Ta’ala.

Nikmat Allah yang harus kita syukuri teramat banyak. Namun secara garis besar terbagi menjadi dua:

  1. Nikmat yang bersifat ukhrawi (Nikmat Mutlak) yaitu yang bersambung dengan kebahagian abadi Seperti nikmat hidayah memeluk agama Islam dan memahami tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Inilah nikmat yang Allah perintahkan pada kita agar selalu kita minta pada-Nya di dalam shalat kita.

“اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ”

Artinya: “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus”. ( QS. Al-Fatihah (1): 6)

Nikmat ini adalah nikmat yang patut menjadi kegembiraan, dan gembira karenanya termasuk perkara yang di sukai Allah dan di ridhoi-Nya.

Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”(Qs.yunus : 58)

  • Nikmat yang bersifat duniawi (nikmat Muqoyyadah). Seperti nikmat sehat, keturunan, kedudukan, rizki dan yang semisalnya.

Segala nikmat tersebut di atas wajib untuk disyukuri. Baik yang duniawi, terlebih lagi yang bersifat ukhrawi. Sungguh syukur merupakan pengikat dari nikmat yang sudah kita miliki, sekaligus merupakan pengait nikmat-nikmat yang belum kita miliki.

Penulis

Haidar Andika

ARTIKEL TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

PALING POPULER