Urgensi Menghadirkan Hati Dalam Berdoa Dan Beberapa Adab Doa Yang Lain
Sesungguhnya doa termasuk sebab yang paling kuat untuk mendatangkan perkara-perkara yang diinginkan dan menolak hal-hal yang tak disukai. Akan tetapi terkadang pengaruh doa itu lamban atau faidahnya lemah, bahkan terkadang tidak ada sama sekali karena beberapa sebab, diantaranya; kelemahan pada doa itu sendiri, misalnya doa yang tidak disukai Allah Subhana wata’ala karena mengandung permusuhan, atau kelemahan hati di mana ia tidak mengahadap pada Allah Subhana wata’ala waktu berdoa atau adanya penghalang pengabulan seperti makan yang haram, dan selaput dosa pada hati, atau penguasaan kelalaian dan kesia-siaan atas hati. Sungguh perkara-perkara ini bisa membatalkan doa dan melemahkan urusannya.
Oleh karena itu, sesungguh di antara ketentuan-ketentuan penting dan syarat-syarat agung yang harus ada pada doa adalah kehadiran hati (konsentrasi) orang yang berdoa, dan ketidaklalaiannya. Hal itu bila seseorang berdoa dengan hati lalai dan bermain-main, niscaya melemahkan kekuatan doanya, dan melemahkan pengaruhnya. Jadilah urusan doa padanya seperti busur yang lunak sekali. Apabila busurnya demikian, niscaya anak panah keluar dengan sangat lamban. Akibatnya pengaruhnya juga menjadi lemah. Oleh sebab itu, sungguh diriwayatkan oleh Nabi Shalallahu ‘alahi wasallam anjuran menghadirkan hati ketika berdoa, ancaman lalai padanya, dan perkabaran tidak adanya hal itu merupakan salah satu penghalang penerimaan doa.
Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata,”Apabila dikumpulkan bersama doa, kehadiran hati dan fokus secara keseluruhan terhadap yang diminta, lalu bertepatan dengan salah satu di antara enam waktu pengabulan doa, yaitu sepertiga malam yang akhir, ketika adzan, di antara adzan dan qomat, di belakang shalat-shalat fardhu, ketika imam naik ke mimbar pada hari jumat hingga shalat selesai dikerjakan pada hari itu, dan diakhir waktu sesudah ashar, kemudian bertepatan pula dengan kekhusyu’an dalam hati, keluluhan hati di hadapan Rabb, merendah kepada-Nya, tunduk dan lembut, orang berdoa menghadap kiblat, dalam kondisi suci, mengangkat kedua tangannya kepada Allah, memulai dengan pujian kepada Allah dan sanjungan atas-Nya, kemudian mengiringi denag shalawat atas muhammad hamba Allah dan utusan-Nya, lalu lebih dahulu sebelum mengutarakan keinginan bertaubat dan memohon ampunan, setelah itu masuk kepada Allah, mengiba kepada-Nya dalam meminta, bergantung kepada-Nya dan berdoa dengan harap dan cemas, bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta tauhid-Nya, bersedekah sebelum mengajukan doanya, maka sungguh doa ini hampir-hampir tidak ditolak sama sekali. Terutama jika bertepatan dengan doa-doa yang dikabarkan Nabi Shalallahu ‘alahi wasallam sebagai doa yang memiliki kemungkinan besar dikabulkan, atau ia mengandung nama Allah paling agung.”
Hanya saja di sana terdapat perkara yang disitir para ahli ilmu yang harus diperhatikan dan direalisasikan. Yaitu, orang berdoa di samping melakukan doa dengan memenuhi syarat-syarat dan adab-adabnya, hendak pula mengikuti hal itu dengan melakukan konsekuensi-konsekuensi dan pelengkap-pelengkapnya. Ini terjadi dengan berusaha, serius, dan bersungguh-sungguh untuk meraih yang diinginkan, “permintaan hidayah kepada Allah mengharuskan seseorang untuk mengerjakan semua sebab untuk mendapatkan hidayah, baik dari segi ilmiyah maupun pengamalan. Jika seseorang berkata:
… رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (١٥)
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri”.( Al-Ahqaf:15)
Maka disamping ketundukan kepada Allah ini, hendaknya berusaha mensyukuri nikmat Allah atasnya dan kedua orang tuanya, dengan pengakuan, sanjungan, pujian, dan permintaan bantuan pada-Nya untuk mentaatinya. Hendaklah mengenali amal-amal shalih yang diridhai Allah dan mengamalkannya. Berusaha pula membina keturunan dengan pembinaan perbaikan lagi agamis.
Sebab Allah telah menjadikan bagi semua keinginan sebab-sebab untuk meraihnya. Lalu dia memerintahkan untuk mengerjakan sebab itu disertai kekuatan penyandaran kepada-Nya. Apabila hamba meminta kepada Rabbnya untuk mewafatkannya bersama orang-orang yang baik-baik, maka ini adalah permintaan untuk akhir yang baik, mengharuskan pelasanaan sebab-sebab dan taufiq terhadap sebab-sebab untuk meraih kematian dalam islam. Oleh karena itu,Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٠٢)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.(Ali-Imran:102)
Hal ini terjadi dengan melakukan sebab-sebab dan bersandar kepada Dzat yang membuat sebab-sebab tersebut, yaitu Allah semata, yang mana di tangan-Nyalah kendali segala urusan.
Oleh : Zakuan Muktar Lc, M.Ag.
Diringkas dari kitab Fiqih Do’a Dan Dzikir syekh Abdurrazzak hafizhahullah Ta’ala