UCAPAN-UCAPAN KETIKA SEDANG DALAM KEADAAN MARAH
Marah merupakan perilaku yang tidak terpuji dan dilarang dalam Islam. Marah adalah suatu keadaan dimana seseorang naik emosinya untuk membela diri dari gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau keinginan untuk membalas dendam dari gangguan yang telah terjadi. Dari kemarahan ini akan lahir banyak perbuatan buruk seperti pembunuhan, penganiayaan, permusuhan, dan ucapan buruk seperti menuduh, mencaci, sumpah serapah, cerai dsb. Maka perbuatan yang timbul akibat amarah pada akhirnya hanya menimbulkan penyesalan. Hal menunjukkan bahwasanya marah merupakan pintu keburukan.
Wasiat Rasulullah untuk meninggalkan marah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” (HR Bukhari)
Maka sahabat ini meminta wasiat kebaikan kepada Nabi dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengatakan “janganlah engkau marah”, menunjukkan bahwasanya meninggalkan marah merupakan pintu kebaikan, sebaliknya marah merupakan pintu keburukan.
Dari Humaid bin Abdurrahman, dari seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, Aku berkata : wahai Rasulullah berilah wasiat kepadaku. Beliau menjawab “Janganlah engkau marah”. Orang itu mengatakan, maka aku memikirkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dan aku dapati dalam kemarahan amat banyak keburukan.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Janganlah engkau marah” mengandung dua perkara agar seseorang selamat dari marah dan akibatnya. Pertama, mengandung perintah untuk melatih jiwa dalam memiliki sifat terpuji seperti lemah lembut, sabar dalam menghadapi ucapan maupun perbuatan manusia. Maka apabila ada hal-hal yang membuat marah dia akan menampakkan sifat terpuji tadi.
Kedua, larangan untuk marah merupakan larangan untuk melampiaskan kemarahan. Seseorang bisa jadi tidak dapat menghindar dari perasaan marah, akan tetapi dia bisa menahan diri dari melampiaskannya. Maka hendaknya seseorang menahan jiwanya dari berucap dan berbuat sesuatu yang diharamkan akibat kemarahannya. Maka barang siapa yang menahan diri dari melampiaskan kemarahan, seakan-akan dia tidak sedang marah. Allah berfirman:
وَإِذَا مَا غَضِبُوا۟ هُمْ يَغْفِرُونَ
“dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syuro: 37)
Dalam hadist disebutkan:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”
Wasiat salaf untuk meninggalkan marah
Demikian pula banyak riwayat dari para salaf terdahulu tentang peringatan terhadap sifat marah. Diantaranya:
Ja’far bin Muhammad Rahimahullah mengatakan: “Marah adalah pintu segala keburukan”.
Dikatakan kepada Abdullah bin mubarok, kumpulkanlah prilaku kebaikan itu dalam satu ungkapan. Maka beliau mengatakan : “Tinggalkan marah”.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan : “Sungguh beruntung orang yang terjadi dari hawa nafsu, amarah, dan sifat tamak.”
Demikian juga dikatakan: “Marah itu diawali dengan kegilaan dan diakhiri dengan penyesalan”. “Musuh akal adalah marah”. “Segala kerusakan disebabkan kemarahan”.
Menjauhkan diri dari sebab kemarahan
Nabi menyarankan kepada orang yang sedang marah untuk menjauhkan diri dari penyebab kemarahan, diantaranya adalah memohon perlindungan dari gangguan syaithan yang membisikkan amarah dalam dada manusia.
Sulaiman bin Shurod radhiyallahu ‘anhu berkata,
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ، فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ، وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ“
“Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, [‘A’udzubillahi minas-syaitani’] (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya.” (HR Bukhari)
Hadist diatas menunjukkan bahwasanya marah merupakan gangguan dari syaithan, dan orang terkena gangguan syaithan maka hendaknya ia berlindung kepada Allah. Allah berfirman:
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah” (QS. Al-A’rof: 200)
Menjauhi diri dari ucapan atau perbuatan akibat kemarahan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bagi orang yang marah untuk menjauhi hal-hal yang mungkin terjadi akibat kemarahannya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad).
Hal tersebut adalah karena ketika seseorang marah yang timbul dari ucapannya adalah ucapan kebencian, permusuhan, menyakitkan. Maka diantara do’a yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan untuk dibaca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى
Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha HR. Ahmad
Agar terhindar dari keburukan amarah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar terhindar dari perbuatan buruk akibat kemarahana adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ، وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ
“Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud).
Hal ini dilakukan karena orang yang marah apabila tetap dalam keadaanya maka ia bisa saja melakukan suatu tindakan tak terpuji kepada orang yang dia marahi. Dengan demikian seseorang yang sedang marah hendaknya menjaga ucapan dan tindakannya ketika dia marah dan menunggu hingga reda kemarahannya terlebih dahulu.
Sumber :
Fikih doa dan Dzikir Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin
rumaysho.com, muslim.or.id, muslimah.or.id, konsultasisyariah.com, almanhaj.or.id
Cianjur, 14 Oktober 2021
Oleh : Muhammad Abu Alif