asd
Home Fiqih Do'a dan Dzikir PERINGATAN TERHADAP PENYIMPANGAN NAMA-NAMA ALLAH

PERINGATAN TERHADAP PENYIMPANGAN NAMA-NAMA ALLAH

0

PERINGATAN TERHADAP PENYIMPANGAN NAMA-NAMA ALLAH

Pembicaraan tentang firman Allah surat Al-A’raf ayat 180

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُون

“Bagi Allah nama-nama yang paling indah, berdo’alah kepada-Nya dengannya dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang pada nama-nama-Nya, mereka akan dibalas atas apa yang mereka lakukan.”

Kandungan ayat diatas di antaranya berisi tentang peringatan terhadap penyimpangan pada nama-nama Allah , ancaman-Nya atas orang-orang yang menyimpang padanya, bahwa Dia akan membalas perbuatan mereka, dan menghisab mereka dengan ketat. Allah memberi tangguhan namun tidak mengabaikan.

Kata ‘ilhad’ (menyimpang) dalam bahasa berarti condong dan berpaling. Misalnya kata ‘lahad’ (liang lahat), lubang berada di sisi kubur yang condong (menyimpang) dari tengahnya. Begitu pula kata ‘mulhid fiddin,’ yakni orang yang condong (menyimpang) dari kebenaran menuju kebathilan. Ibnu As-Sikkit berkata, Mulhid adalah orang yang berpaling dari kebenaran, memasukkan dalam kebenaran itu sesuatu yang tidak berasal darinya.” (Tahdzib Al-Lughah, karya Al-Azhari, 4/421.)

Ilhad (menyimpang) pada nama-nama Allah adalah berpaling dengannya, hakikatnya, dan makna-maknanya, dari kebenaran yang baku baginya. Ia memiliki bermacam-macam bentuk yang dikumpulkan oleh sifat ini. Oleh karena itu, Allah memperingatkan pada ayat tersebut tentang penyimpangan pada nama-nama-Nya serta macam-macamnya, agar tidak terjerumus padanya, seperti firman Allah:

وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

“Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an agar menjadi jelas jalan orang-orang yang berdosa.” (Al-An’am: 55). Yakni menjadi jelas bagi manusia, sehingga mereka waspada dan berhati-hati terhadapnya.

Ilhad (penyimpangan) pada nama-nama Allah seperti terdahulu bermacam-macam bentuknya, yaitu:

Pertama, menamai patung-patung dan berhala-berhala dengan nama-nama tersebut, seperti perbuatan kaum musyrikin menamai patung mereka ‘latta’ yang berasal dari kata ‘ilaah’ (Allah), dan ‘uzza’ yang berasal dari kata ‘al-aziiz’ (mulia), atau ‘manat’ yang berasal dari kata ‘al-mannan’ (pemberi nikmat), serta menamai patung-patung sebagai sembahan (Allah). Inilah penyimpangan yang hakiki, karena mereka menyelewengkan nama-nama Allah , untuk berhala-berhala dan sembahan-sembahan mereka yang bathil.

Kedua, menamai Allah dengan sesuatu yang tidak patut bagi keagungan dan kesempurnaan-Nya. Nama-nama Allah adalah paling indah dan hanya diketahui oleh wahyu. Tidak boleh bagi seseorang melampaui Al-Qur’an dan Sunnah padanya. Oleh karena itu, barang siapa memasukan padanya apa-apa yang tidak berasal darinya, maka dia dianggap ‘mulhid’ (menyimpang) pada nama-nama Allah.

Di antaranya pula perbuatan orang-orang Nashara yang menamai Allah sebagai bapak, perbuatan para filosop yang menamai-Nya ‘penyebab yang bereaksi secara tabi’at,’ perbuatan sebagian pengikut yang menamainya ‘arsitek alam’ dan yang sepertinya. Semua itu termasuk ilhad (menyimpang) pada nama-nama Allah.

Ketiga, melucuti nama-nama dari makna-maknanya dan mengingkari hakikat-hakikatnya. Seperti perkataan Ibnu Abbas ‘Ilhad’ adalah pendustaan.” (diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsirnya, 6/134). Barang siapa meragukan makna-makna nama-nama ini dan menolak hakikat-hakikatnya, maka dia mendustakannya dan menyimpang pada nama-nama Allah. Di antara contoh hal itu, perkataan sebagian kelompok mu’athilah, “ Ia adalah nama-nama semata, tidak menunjukan kepada makna, dan tidak mengandung sifat.” Mereka menyebut Allah dengan nama ‘As-Sami’ (Maha Mendengar), ‘Al-Bashir’ (Maha Melihat), ‘Al-Hayyu’ (Maha Hidup), dan “Ar-Rahim’ (Maha Penyayang), lalu mereka berkata, “tidak ada kehidupan bagi-Nya, tidak ada pendengaran bagi-Nya, tidak ada penglihatan bagi-Nya, dan tidak ada rahmat bagi-Nya.” Maha tinggi Allah dari apa yang mereka katakan, dan Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.

Tidak diragukan, ini termasuk ‘ilhad’ (penyimpangan) pada nama-nama Allah. Kemudian kelompok ‘mu’athilah’ ini berbeda-beda dalam pengingkaran tersebut. Di antara mereka ada yang pengingkarannya bersifat parsial, yakni mengingkari sebagian dan menetapkan sebagian, dan ada pula yang pengingkarannya bersifat menyeluruh, yaitu mengingkari semua nama-nama Allah, tidak menetapkan sesuatupun dari sifat-sifat yang ditunjukan oleh asma’ul husna (nama-nama Allah yang paling indah). Semua yang mengingkari sesuatu yang disifatkan Allah bagi diri-Nya atau disifatkan oleh Rasul-Nya, maka dia telah menyimpang dalam hal itu, sedangkan bagiannya dari penyimpangan itu tergantung kepada besarnya pengingkaran yang dilakukannya.

Keempat, menyerupakan apa yang dikandung nama-nama Allah yang indah, yang berupa sifat-sifat agung dan sempurna, yang sesuai keagungan dan keindahan-Nya, dengan sifat-sifat makhluk. Sungguh Maha tinggi Allah dari apa yang dikatakan musyabbihun (orang-orang yang menyerupakan sifat Allah dengan makhluk). Allah berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ….

“….Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 11)

Firman-Nya yang lain

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا…

“…Apakah engkau mengetahui bagi-Nya nama (yang serupa).” (QS. Maryam : 65)

Allah tidak ada nama yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang menyerupai, dan tidak ada contohnya. Allah tidak menyerupai dari ciptaan-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dari ciptaan-Nya. Orang-orang yang menyerupakan Allah, seperti dikatakan Imam Ahmad rahimahullah, mereka adalah yang mengatakan, “Tangan Allah seperti tanganku, pendengaran-Nya seperti pendengaranku, dan penglihatan-Nya seperti penglihatanku, Maha Tinggi Allah daripada hal itu.” (Lihat, Naqdh At-Ta’sis, karya Ibnu Taimiyah, 1/476). Adapun mereka yang menetapkan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya menurut apa yang sepantasnya bagi keagungan Allah dan kesempurnaan-Nya, maka dia terbebas dari penyerupaan dan selamat dari pengingkaran. Inilah jenis penyimpangan dalam asma ‘ul husna. Telah terjerumus padanya setiap jama’ah dari kalangan orang-orang Bathil. Semoga Allah memelihara kami dan kalian dan menjaga kami maupun kalian dengan nikmat dan kemuliaan-Nya dari setiap kesesatan dan kebathilan. 

Demikian semoga bermanfaat. Washollallahu ‘ala Muhammad waalihi wasohbihi ajma’in.

Al-Bayaan Cianjur, Sabtu 14 November 2020/ 28 Rabi’ul Awal 1442 H

Penulis: Adep Baehaki

Sumber : Diringkas dari buku Fikih Do’a dan Dzikir karya Syaikh Abdurrazaq Bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr -Hafidzahumallahu-   

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version