Jumat, Maret 29, 2024
spot_img
BerandaFiqih Do'a dan DzikirBAHAYA KETERGANTUNGAN KEPADA KUBUR

BAHAYA KETERGANTUNGAN KEPADA KUBUR

BAHAYA KETERGANTUNGAN KEPADA KUBUR

Ibadah merupakan hak Allah semata, Allah berfirman:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)

Seorang muslim dituntut untuk memohon hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak memohon kepada selain dari-Nya. Akan tetapi yang sangat mengherankan adalah, adanya sebagian manusia yang memohon kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala di pekuburan-pekuburan. Bahkan pekuburan-pekuburan tersebut telah dibangun diatasnya kubah-kubah dan bangunan-bangunan. Mereka meminta-minta kebutuhan mereka kepada penghuni kubur yang telah wafat. Na’udzu billahi min dzalik.

Perbuatan seperti ini sama sekali tidak ada contohnya dari Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam, tidak pula dari para khulafa rasyidin, para sahabat, para tabi’in dst. Padahal di sisi mereka terdapat kubur yang paling mulia, kubur Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam dan juga kubur-kubur para pembesar sahabat. Akan tetapi tidak ada seorang sahabat pun yang meminta-minta kepada kubur-kubur tersebut. Sekiranya hal ini adalah sunnah, tentu akan dilakukan oleh para sahabat serta akan diriwayatkan dari mereka kepada generasi setelahnya.

Bahkan diantara riwayat yang dinukil dari para sahabat adalah pengingkaran mereka terhadap jalan menuju kesyirikan. Diantaranya adalah yang dilakukan oleh Amirul Mu’min Umar bin Khattab ketika mengingkari beberapa orang yang beribadah di bekas penginggalan Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam, menebang pohon bersejarah, dan menyembunyikan kubur seorang nabi Bani Israil.

Diriwayatkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khatthab, muncul gejala pada sebagian kaum muslimin yang memiliki ketergantungan kepada barang-barang peninggalan dan situs-situs sejarah. Maka Khalifah Umar bin al-Khatthab dan para sahabat melarang dan memperingatkan manusia dari perbuatan tersebut. Ibnu Wadhdhâh meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Ma’rur bin Suwaid, ia bercerita:

Kami pergi untuk mengerjakan haji bersama Umar bin al-Khatthab. Di tengah perjalanan, sebuah masjid berada di depan kami. Lantas, orang-orang bergegas untuk mengerjakan shalat di dalamnya.

Umar pun bertanya: “Kenapa mereka itu?”

Orang-orang menjawab: “Itu adalah masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat di masjid itu”

Umar berkata: “Wahai manusia. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa, lantaran mereka melakukan perbuatan seperti ini, sampai akhirnya nanti mendirikan masjid baru di tempat tersebut. Siapa saja yang menjumpai shalat (wajib), maka shalatlah di situ. Kalau tidak, lewatilah saja”

Ibnu Waddhah juga meriwayatkan, bahwasanya Umar bin al-Khatthab memerintahkan untuk menebang sebuah pohon di tempat para sahabat membaiat Rasulullah di bawah naungannya (yaitu yang dikenal dengan Syajaratur-Ridhwan). Alasannya, karena banyak manusia mendatangi tempat tersebut untuk melakukan shalat di bawah pohon itu. Beliau Radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkan timbulnya fitnah (kesyirikan) pada mereka nantinya, seiring dengan perjalanan waktu.

Salah satu Nabi yang diutus kepada Bani Israil adalah nabi Daniel. Jasad Nabi Daniel ditemukan oleh sahabat Abu Musa Al-Asy’ariy ketika berjihad melawan bangsa Tartar di daerah Hurmuzan. Jasad nabi Daniel ditemukan di baitul mal Hurmuzan dan penduduk Hurmuzan menjelaskan bahwa jasad tersebut telah meninggal 300 tahun yang lalu, akan tetapi jasadnya masih utuh dan tidak membusuk sedikit pun. Lalu Abu Musa Al-Asy’ariy mengirim surat kepada Umar bin Khattab sebagai khalifah saat itu. Umar bin Khattab menjelaskan bahwa itu adalah jasad Nabi Daniel dan memerintahkan untuk menyembunyikan kuburnya.

Diriwayatkan oleh Ibu Abi Syaibah dari sahabat Anas, Tatkala mereka (Abu Musa Al-Asy’Ariy) menaklukan tustur, mereka menemukan jasad seseorang yang hidungnya panjang. Penduduk Hurmuzan biasa meminta-minta bantuan dan meminta hujan dengan perantara jasad tersebut.

Abu Musa segera menulis surat kepada Umar bin Khattab. Umar pun membalas surat tersebut: “Sesungguhnya ini (jasad tersebut) adalah nabi di antara para nabi. Api tidak akan membakar jasad para Nabi dan bumi tidak akan merusaknya. Hendaklah engkau dan salah seorang sahabatmu menguburkannya di tempat yang tidak ada serorang pun yang mengetahuinya kecuali kalian berdua”. Kemudian aku dan Abu Musa pergi untuk menguburkannya.

Diriwayatkan Al-Baihaqy dalam Dala-ilun Nubuwwah, dari Khalid  bin Dinar dari Abu ‘Aliyah,

Aku berkata kepada Abu Aliyah: “Apa yang kalian lakukan pada jasad nabi tersebut?”

Abu ‘Aliyah berkata: “Kami menggali di sungai (airnya dibendung sementara) sebanyak 13 lubang kubur yang terpisah-pisah. Pada saat malam hari, kami menguburkannya dan kami ratakan semua kubur tersebut agar manusia tidak mengetahui dan tidak menggalinya kembali.”

Syaikhul Islam menyebutkan setidaknya ada tiga tingkatan doa yang dilakukan sebagian manusia ketika mereka meminta-minta kepada penghuni kubur.

Pertama, memohon kepada penghuni kubur secara langsung, seperti mengatakan “Wahai tuanku fulan, tolonglah aku”.

Kedua, minta didoakan oleh orang yang telah wafat, seperti mengatakan “Berdoalah kepada Allah untuk kami”.

Ketiga, memohon kepada Allah dengan kedudukan penghuni kubur, seperti mengatakan “Aku memohon kepada-Mu dengan kedudukan fulan di sisi Mu”.

Sumber :

Fikih doa dan Dzikir Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin

Website : almanhaj.or.id, muslim.or.id

Cianjur, 22 Oktober 2020

Oleh : Muhammad Abu Alif

ARTIKEL TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

PALING POPULER